Minta Dana Lewat Medsos
Berlarutnya pandemi corona membuat kondisi ekonomi banyak orang menurun, entah itu di dunia usaha maupun di bidang pelayanan. Gereja-gereja banyak yang mengalami kesulitan cashflow untuk menutupi biaya operasional. Secara garis besar ada beberapa jenis gereja yang yang mengalami kesulitan keuangan:
1. Tidak punya tempat ibadah sendiri tetapi menyewa atau kontrak sehingga butuh biaya banyak untuk sewa. Kalau disewa persesi atau perhari masih lumayan, tetapi kalau disewa pertahun maka akan sangat terasa tanpa adanya pemasukan yang diperoleh dari persembahan waktu ibadah.
2. Gereja yang jemaatnya dari kalangan biasa bahkan minus sehingga tidak bisa memberi banyak, penghasilan jemaat juga pas-pasan walau mungkin taat memberi perpuluhan tapi jumlahnya tidak besar. Bahkan ada yang harus cross subsidy dengan gereja induk/cabang lain.
3. Ada yang jemaat banyak dan rata-rata orang mampu, tetapi rata-rata “tidak taat firman” dalam hal memberi, sehingga terus kekurangan dana. Padahal firman Tuhan bukan melulu tentang taat memberi, menabur tetapi hidup kudus, mentaati pimpinan Roh. Kekristenan tidak mengajarkan kita untuk menjadi sapi perah, domba sembelihan, atau jadi makanan lezat ambisi dan obsesi seseorang.
4. Karena semua serba tertutup. Ada yang jemaat besar, persembahan banyak tetapi tata kelolanya kalah dari lampu Philips yang slogannya “terus terang, terang terus”. Waktu minta terus terang dan sangat terang-terangan seperti lampu di mercusuar pelabuhan yang bisa dilihat dari jarak puluhan kilometer, setelah uang masuk lalu gelap dan gelap terus. Tanpa keterbukaan laporan pemasukan pemakaian dan pengeluaran keuangan. Sehingga waktu jemaat memberi kelihatan jelas di masukan ke kotak persembahan/tansfer ke rekening, tetapi setelah dari kotak/masuk rekening itu tidak pernah ada yang tahu total jumlah berapa, di bawa ke mana, dipakai siapa, keperluan apa, sisa berapa, disimpan di mana. Pokok prinsipnya berikan ke Tuhan, jangan banyak tanya, biar mereka bertanggung jawab ke Tuhan. Jangan mengusik biji mata Tuhan. Tunduk pada otoritas! Tanya-tanya berarti ada roh pemberontakan. Bertobat! Mereka hamba Tuhan, kita tukang cari uang, jadi dapat uang berikan ke mereka. Ini doktrin dari planet mana ya?
Adik ayah saya pengusaha penyewaan alat berat, adalah bendahara abadi di gereja kami, sudah beberapa puluh tahun dia menjabat sebagai bendahara umum. Seingat saya sejak saya masih remaja belasan tahun, karena pengusaha kalau ada kekurangan biaya untuk kegiatan-kegiatan tidak repot cari dana, daripada repot ditutup sendiri saja. Pernah saya tanya berapa uang gereja kami. Dijawab tidak tahu, yang dia tahu hanya uang yang terkumpul dari persembahan ekstra yang diambil tiap awal bulan. Uang ini digunakan untuk keperluan bezuk jemaat, sebagai petty cash. Itu saja yang dia tahu. Persembahan perpuluhan, pembangunan, diakonia, dll yang kotaknya berderet lebih banyak dari kotak suara waktu pemilu di depan mimbar dia tidak pernah tahu sama sekali. Bendahara umum cuma jabatan tanpa fungsi, hanya pencitraan bahwa boss rumah ibadah terbuka dalam keuangan. Hmmmm. Ngono ta kata bule kampung.
5. Ada juga yang kesulitan dana karena proyek-proyek mercusuar, kegiatan-kegiatan yang menghabiskan dana banyak, ekspansi cabang yang terlalu giat, pembangunan fasilitas yang kelewat mewah, mengundang pembicara yang wah dengan harapan menarik hadirin lebih banyak dan mengkatrol citra organisasi, agar citranya berkelas, bukan kaleng-kaleng.
6. Ada yang kekurangan karena ketakutan akan kekurangan. Sehingga uang hanya boleh masuk dan sangat sulit untuk keluar. Semua disimpan, disimpan dan disimpan. Dengan alasan berhikmat, semut saja mengumpulkan pada musim panas sehingga di musim dingin tidak kelaparan. Kumpulkan terus sampai Tuhan datang—plesetan dari lagu Pantekosta lama Bersaksi terus sampai Tuhan datang.
Waktu pelayanan di Eropa, ada gembala yang karib dengan saya, karena setiap pelayanan di negara itu saya biasanya menginap di rumahnya. Dia cerita kas gereja pusat ada hampir ratusan ribu euro, dan gereja cabang wajib mengirim dana ke pusat. Tetapi waktu gereja cabang butuh dana, yang dari pusat butuh tanda tangan Tuhan Yesus baru bisa keluar. Masuk bisa, keluar tidak bisa—kalau jaman vegeta masih ngetop, tinggal dikasi minum vegeta 10 sachet bisa lancar keluarnya. Eiittt itu untuk sembelit lho.
7. Mirip dengan poin no 6, cabang harus mandiri, apapun situasinya. Jaman dahulu kala (kayak kalimat pembuka dongeng H. C. Andersen), ketika saya masih karib dengan sekelompok orang, yang sekarang sudah meninggal setengahnya, saya sering mengisi pelayanan firman di gereja-gereja yang berafiliasi dengan mereka. Ada satu gembala cabang yang saya kenal karib cerita bahwa gedung yang dipakai mereka ibadah sudah hampir habis masa kontraknya dan uang kas yang ada masih sangat jauh dari yang dibutuhkan untuk perpanjangan kontrak. Saya tanya apa tidak dibantu oleh pusat? Dia geleng kepala. Padahal atasannya yang saya juga kenal baik pake mobil built up milyaran, rumah ada kolam renang, konon punya tanah pertanian di Australia dan lain-lain kemewahan. Tapi gereja cabang disuruh beriman, berdoa minta Tuhan. Amsiong dah.
8. Kekurangan karena tidak menekankan perpuluhan dan aneka ragam persembahan yang ada di Perjanjian Lama. Harus diakui persembahan perpuluhan merupakan 80% bahkan lebih dari pemasukan disamping persembahan kolekte setiap ibadah, walau angka ini belum berdasarkan survei yang akurat. Tetapi jarang ada yang berani hidup seratus persen berharap kepada Tuhan tanpa berharap dari doktrin pengajaran perpuluhan dan aneka persembahan.
Dalam salah satu buku saya ada menulis tentang gereja-gereja yang pakai semboyan “save the soul at any cost | giving my best |tabur, tabur,tabur” seringkali justru menjadi gereja yang paling sedikit memberi. Pernah setelah mengisi ibadah malam, saya diajak makan bapak dan ibu gembala. Begitu duduk, waiter datang, tapi belum sempat dia menyerahkan daftar menu, si bapak gembala sudah langsung pesan nasi goreng dua, teh tawar panas jumbo dua. Waiter segera pergi ke dapur menyerahkan captain order. Begitu makanan datang bapak gembala menyodorkan 1 piring nasi goreng ke saya dan yang 1 piring lagi dibagi mereka berdua. Saya tidak ditanya mau makan apa, sudah dijatah nasi goreng dan teh tawar panas. Padahal rumah makan ini bukan rumah makan yang mahal, harga makanan rata rata dua puluh ribuan rupiah saja. Kalau diliat dari jenis jemaat dan jumlah jemaat yang naik motor bisa dihitung jari tangan saja, rata-rata bermobil. Tapi ya saya tetap bersyukur mungkin gembala ini punya karunia marifat (perkataan pengetahuan) sehingga tahu salah satu makanan favorit saya adalah nasi goreng apalagi nasi goreng lap chiong. Tapi yang tidak tepat koq pesan teh tawar panas jumbo, saya peka dengan kafein entah dari kopi maupun teh, bisa membuat saya sulit tidur. Ketika Starbucks pertama kali buka, saya ingat pesan frappucino green tea ukuran grande, dan malamnya saya tidak bisa tidur sampai jam 3 lebih. Mungkin dia masih belajar peka sehingga dari dua hal ada satu yang salah. Ini namanya positive thinking, lebih rohani dari pada jengkel terus darting. Bukan kepahitan ya.
Saya bersyukur pernah mengenyam pendidikan perhotelan dan pernah mengelola hotel, sehingga minimal dapat mata kuliah courtesy and table manner. Kalau mau undang boleh tentukan budget mau keluar berapa terus cari resto yang kira-kira sesuai dengan budget yang kita rela keluarkan. Jangan kaya tapi mentalitas kismin, kasihan yang diundang, dia pasti pulang sambil mbatin lebih enak pergi makan sendiri. Kalau kita mengundang orang makan maka ada hal-hal yang perlu kita perhatikan. Kita bisa dari awal mengundang sudah menentukan dan menyampaikan mau undang di mana dan akan makan hidangan apa, sehingga yang diundang tahu dan di sana tinggal memilih makanan tambahan/side order dan minuman sendiri. Yang kedua kita hanya tentukan venue/tempat makannya saja, tentang jenis hidangan nanti dipilih bersama. Ketika memilih hidangan kita bisa kasih suggestion/saran makanan yang kita pernah makan di sana, yang kita tahu sebagai masakan yang enak kepada orang yang kita undang. Atau bertanya apa makanan kesukaannya dan kita orderkan kalau ada di menu list. Atau kita bisa minta suggestion dari waiter/waitress yang melayani kita tentang hidangan favorit restorannya.
Bebaskan orang yang kita undang untuk memilih hidangan/minuman yang dia mau nikmati. Jangan mengundang orang untuk makan hidangan yang kita suka, yang kita anggap paling enak dan kita paksa yang diundang untuk menikmatinya. Tiap orang seleranya belum tentu sama. Hindarkan sifat pelit, medit, kikir dan mental kismin tapi mau kelihatan jadi orang baik dan kaya. Contoh makan di restoran yang bagus tapi masakan yang dipesan sop sehat, cah sayur, taoge ikan asin, brocoli goreng, cah sawi, cah sayur ijo, cah daun ginseng, semua masakan yang biasanya harganya paling murah di menu list. Yang diundang bukan kambing sehingga semua bahan utamannya sayur, walau beralasan demi kesehatan. Dan sebagai yang mengundang jangan pesan minum teh tawar, air putih karena itu membuat yang diundang jadi segan memesan minuman yang lebih mahal. Apalagi kalau bawa air minum gelasan dari rumah. Memangnya mau piknik atau camping? Sekalian aja bawa nasi putih, abon dari rumah dan bawa air galon terus gelar tikar di lantai restoran.
Setelah yang diundang menentukan pilihan, kita bisa tambahkan menu lain dengan tidak mengulangi memesan masakan dengan bahan yang sama, atau dengan cara pengolahan yang sama. Contoh yang gampang tamu kita pesan ayam bakar, kita pesan ayam goreng. Ini bahan utama sama, pesanlah hidangan dari ikan, udang, daging sapi. Ingat bahan utama jangan sama dan metode pengolahan juga tidak sama. Jangan pesan ayam bakar madu, ayam kung pao, ayam tim obat, bersamaan sekalipun mertua anda peternak atau penjual pakan, kasian yang diundang blenger. Syukur-syukur kalau dia bawa obat anti mual. Ngeh?
Masih ada beberapa hal yang bisa ditambahkan dari daftar di atas. Tetapi kita akan ke inti bahasan sesuai judul di atas. Kalau kita perhatikan di sosial media, ada banyak postingan permintaan bantuan dana entah karena sakit, tidak ada biaya berobat, jadi korban PHK dll. Terlepas dari kebenaran postingan itu atau hanya sebagi usaha mencari uang dengan gampang dengan menjual kesusahan, kekurangan maupun kebohongan. Ada yang menarik ketika saya membaca postingan permintaan fundraising bantuan dana untuk para pelayan Tuhan di berbagai tempat yang katanya kena dampak korona sehingga tidak ada pemasukan dari persembahan. Ada foto dan penyataan hamba Tuhan yang mengatakan dampak pandemi terhadap ekonominya yang biasa hanya mengandalkan Tuhan sangat terasa, tidak punya pemasukan dan hanya mengandalkan Tuhan.
Pro kontra akan permintaan dana seperti ini menimbulkan pro kontra. Minimal terbagi menjadi 4 kelompok:
- Kelompok yang pro, ya wajar mereka dalam kekurangan, sehingga meminta bantuan lewat sosial media. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Elia meminta kepada janda Sarfat.
- Kelompok yang kontra, hamba Tuhan harus berharap kepada Tuhan bukan kepada manusia.Tuhan akan cukupkan.
- Kelompok yang netral, ya kalau mau memberi silahkan, kalau tidak mau memberi ya jangan menghakimi.
- Kelompok yang no comment, hidupku sendiri banyak pergumulan, tidak sempat urus masalah orang lain.
Sebagai umat Tuhan kita tidak bisa melihat corona dari satu sisi saja. Ada sisi baik dan sisi buruk yang bergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Kalau kita melihat dari sisi ekonomi, termasuk berkurangnya persembahan umat, tiadanya persekutuan secara fisik dan ibadah secara ritual seremonial, kematian umat, hamba Tuhan karena kena corona pandemi ini buruk.Tetapi sebagai orang beriman, tentu saja kita juga harus melihat secara rohani pandemi ini. Saya tidak mengecilkan pernyataan bahwa pandemi ini merupakan serangan dan aktivitas roh jahat dan kuasa gelap. Di dalam pelayanan sayapun sering bertemu dengan penyakit yang penyebabnya berhubungan langsung dengan roh-roh jahat. Dan Tuhan sering membuka mata rohani saya melihat ke alam roh dan membawa saya ke alam roh. Bahkan dalam perjalanan pelayanan sering Roh Kudus menyingkapkan lokasi tahta roh-roh teritorial di daerah itu. Tetapi semuanya itu harus didudukan secara proporsional dan seimbang. Tidak main perangi, doa hancurkan, siram minyak, siram garam, siram mbuh opo maneh, sak karepmu. Main siram, cocoknya kerja di pertamanan dan dinas pemadam kebakaran.
Saya ingat seorang hamba Tuhan, Bobby Conner pernah mendapat pesan Tuhan; “You only target what I target, or you will become the target!” Sekalipun dengan karunia membedakan roh dan perkataan pengetahuan, kita disingkapkan aktivitas alam roh, tidak kemudian kita main perangi tanpa diperintah. Saya melihat banyak korban sia-sia dari sikap sok punya kuasa, sok diurapi, sok hebat, yang mengakibatkan kematian yang sia-sia. Bahkan bulan kemarin ada yang mati tenggelam sehabis doa peperangan di pantai. Dan dengan bangganya ayahnya mengatakan anaknya pasti di surga. Kalau Tuhan yang perintahkan maka Tuhan pasti lindungi dari serangan balik kuasa gelap, bukan dijadikan sitting duck/sasaran empuk kuasa gelap. Ini konyol. Ingat anak-anak Skewa! Tentarapun walau melihat musuh tidak langsung menembak tetapi tetap menunggu perintah komandannya agar tidak merusak strategi perang. Keberanian dan ketololan harus dibedakan, karena hasil akhirnya jelas beda. Keberanian menghasilkan prestasi gemilang dalam peperangan, ketololan mengakibatkan mati konyol. Banyak orang merasa sudah jadi tentara dengan hanya memakai seragam tentara untuk acara 17 Agustus. Tidak ada tentara buta, timpang, lumpuh, tuli. Mereka tidak peka disuruh doa peperangan, dan karena bodoh mereka langsung merasa hebat dan main-main dengan kuasa gelap, akibatnya kuasa gelap mengalahkan mereka. Kebodohan koq dipelihara.
Kembali ke fokus, sebagai orang–orang yang melayani ada beberapa pertanyaan yang bisa kita tanyakan kepada diri kita sendiri di masa pandemi ini.
1. Apakah saya memang terpanggil melayani?
Masuk ke dalam pelayanan bukan karena kehendak, dorongan dan perintah siapapun, tetapi memang hati ini merasa terpanggil untuk melayani umat. Kalau kita dipaksa keluarga, lingkungan, masyarakat, utang ke donatur, yayasan yang membiayai pendidikan kita, sehingga terpaksa melayani.Maka dasar pelayanan kita tidak akan kuat dan mudah menyalahkan orang lain.Betapa bahayanya orang yang melayani tetapi hatinya tidak di sana.Dia menghendaki ketaatan karena mengasihi bukan karena terpaksa.
2.Apa motivasi dan tujuan saya melayani?
Kalau untuk melayani Tuhan dan umat Tuhan, maka warna pelayanan akan tulus dan berserah kepada Tuhan, tidak memikirkan upah/apa yang bisa didapat secara timbal balik. Tujuannya menyenangkan, meninggikan Tuhan dan membuat yang dilayani berkenan, mentaati dan memuliakan Tuhan. Kalau motivasi kita menjadikan pelayanan sebagai batu lompatan untuk menggapai sukses, ketenaran, kenyamanan hidup dan kekayaan, maka tujuan utama dan tertinggi adalah menyenangkan diri sendiri. Kita bukan alat/hamba Tuhan tapi memperalat/memperhamba Tuhan.
3. Apa tolok ukur keberhasilan kita?
Nabi Yeremia adalah nabi yang paling tidak berhasil dalam 23 tahun pelayanannya. Tidak ada yang bertobat dalam pelayanannya. Tetapi dia dipakai Tuhan. Jadikan mengerjakan tugas pelayanan sebagai tolok ukur keberhasilan pelayanan. Bukan jumlah jemaat kaya, besar dan mewahnya gedung, mahalnya sound system dan lighting, ketenaran, kemewahan hidup. Tuhan menghargai kemurnian, ketulusan, ketaatan, kesetiaan lebih dari kesuksesan, ketenaran, kemakmuran yang dihargai dunia.Karena Tuhan melihat hati. Hamba yang baik dan setia atau hamba yang sesat dan jahat.
4. Dalam pelayanan mata kita memandang ke mana?
Apakah harapan kita memang kepada Tuhan atau kepada Tuhan dan juga kepada orang-orang yang dilayani. Iman kita haruslah murni harap hanya kepada Tuhan. Melayani Tuhan diupah Tuhan, jangan melayani Tuhan berharap diupah manusia. Itu hati yang bengkok. Bagimana kita bisa memberi teladan untuk percaya dan berharap kepada Tuhan sementara kita berharap kepada manusia. Ketika mata kita tidak ke arah Tuhan tapi kepada umat, maka sikap dan perlakuan kita terhadap orang kaya dan miskin dipastikan berbeda. Tunduk kepada kehendak orang kaya dan menanduk/melukai/menyakiti kepada orang miskin. Dalam segala hal kita membawanya ke hadirat Tuhan untuk meminta petunjuk, tuntunan, jalan keluar dan pertolongan
5. Apa tujuan akhir hidup kita?
Sebagai hamba yang berkenan kepada Tuannya dan masuk dalam kebahagian Tuannya atau tidak diakui dan tidak dikenal oleh Tuannya. Tujuan akhir menentukan arah langkah dan keputusan-keputusan yang kita ambil. Sempit dan sesak jalan ke sorga, lebar dan luar jalan ke neraka.
Aku mengucap syukur kepada Allah, yang kulayani dengan hati nurani yang murni seperti yang dilakukan nenek moyangku. Dan selalu aku mengingat engkau dalam permohonanku, baik siang maupun malam. – (2 Timotius 1:3)
Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni. – (Ibrani 10:22)
Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab. – (Ibrani 4:13)
There comes a time when one must take a position that is neither safe, nor politic, nor popular, but he must take it because conscience tell him it is right. – Martin Luther King Jr.
If you want to make enemies, try to change something. – Woodrow Wilson