Flexing

Ada orang yang berlagak kaya, tetapi tidak mempunyai apa-apa, ada pula yang berpura-pura miskin, tetapi hartanya banyak. — (Amsal 13:7)

Pagi tadi seorang teman mengirim link YouTube Prof.Rhenald Kasali yang membahas tentang Flexing, trend kaya bohongan yang lagi begitu ramai di media sosial. (Lihat video)

Istilah flexing ini merupakan istilah baru bagi saya. Karena saya lebih mengerti tentang flex style-nya Prof. Stephen P. Robbins dalam bukunya yang berjudul Organizational Behavior, yaitu perubahan tingkah laku seseorang yang bersifat sementara dari personal style mode ke flex style mode—karena di bawah tekanan atau adanya situasi yang berbeda dari biasanya.

Contoh di dalam hal rohani: misalnya seseorang yang tidak suka beribadah, jarang berdoa, tidak suka bersekutu, karena adanya masalah yang berat kemudian menjadi sangat aktif ibadah, lebih sering berdoa bahkan keliling mencari persekutuan-persekutuan. Sepintas orang melihat perubahan yang luar biasa sudah terjadi, tetapi orang itu hanya masuk ke mode flex style (hanya perubahan sementara), ketika yang menekan hidupnya terangkat (baca: masalah selesai) maka ia akan kembali ke pola hidup lamanya lagi, balik hidup santai, alias cari Tuhan hanya waktu butuh. Setelah itu kembali ke pola lama, merasa Tuhan yang terus akan mencari dia, karena Tuhan butuh dia (persembahannya, taburannya, talentanya, skillnya, kekayaannya).

Atau setelah sekian lama hidup dalam flex style yang sangat bikin capek hati karena terpaksa ibadah, terpaksa rajin doa, terpaksa keliling ke sana ke mari mencari persekutuan (cari doa pribadi, nubuat pribadi, cari jawaban, promosi, solusi masalah) belum terjawab juga, akhirnya balik ke personal style semula, tanpa ada perubahan. Akhirnya bersikap; “Ndak tuhan-tuhanan dah, hadapi saja kenyataan dan realita, tidak usah sok berharap dan beriman, hidup memang penuh kesukaran dan penderitaan.”—orang-orang seperti ini gagal mengalami transformasi motivasi dan karakter—iman, pengenalan dan ketaatan kepada Tuhan tidak pernah bertumbuh.

Padahal dalam buku yang saya baca, untuk mengubah satu hal paling sederhana dalam kehidupan sehari-hari dibutuhkan waktu minimal tiga bulan. Apalagi merubah persepsi, karakter, kebiasaan, paradigma ikut Tuhan. Jadi kalau berdoa masih merasa bosan jelas belum ada perubahan motivasi cari Tuhan, hanya untuk dapat jawaban bukan agar dekat dan karib dengan Tuhan. Kalau jenuh menunggu pertolongan dan jawaban Tuhan itu juga tanda yang pasti bahwa kita memang hanya ingin memanfaatkan Tuhan untuk memebuhi semua keinginan kita, bukan makin belajar untuk menjadi alat di tangan Tuhan.

Trend flexing ini sudah lama saya dengar sendiri dipraktekkan di kandang-kandang domba, bahkan di kandang super besar. Ada pemilik kandang yang bercerita kepada domba-dombanya bahwa seorang konglomerat di negara anu menghibahkan tanah pertanian sekian puluh hektar untuk dia. Domba-domba tanpa otak jadi makin terpesona dan makin memuja dia sebagai hamba pilihanNya. Kenyataannya tidak ada kabar lagi tentang tanah puluhan hektar itu, bahkan sampai si pemilik kandang mati malah demikian banyak utang-utang yang ditinggalkannya.

Ada lagi yang minta tanah kepada seorang pengusaha, dengan proposal yang muluk-muluk untuk membangun pelatihan pertanian untuk perawat kandang di desa dan pelosok. Dalam paparan dia menyebutkan beberapa pengusaha papan atas yang akan membiayai proyek itu, dia hanya butuh lahannya, sisanya semua sudah ada yang tanggung. Mendengar paparan yang demikian bagus dan mulia, si pengusaha langsung menyerahkan tanah pertanian seluas lima hektar. Dibuatlah akte pendirian yayasan dengan pengurus berasal dari para perawat kandang di daerah itu. Bertahun-tahun setelah diserahkan tidak ada kegiatan apapun di lahan itu, bahkan pajak PBB lahan itupun tidak pernah dibayar. Tiba-tiba setelah sekian tahun berlalu, akte baru muncul yang mengeluarkan semua perawat kandang di daerah itu, dan diganti dengan semua bawahan si pemilik kandang, dan ternyata bukan tempat pelatihan pertanian yang akan dibangun tetapi sekolah umum yang merupakan cabang dari sekolah umum pemilik kandang itu. Luar biasa.

Ketika yang menyerahkan lahan meminta pendapat saya tentang lahan itu, yang akan diubah peruntukkannya jauh melenceng dari tujuan awal. Saya katakan ambil saja kembali. Dia bertanya apakah tidak salah di mata Tuhan. Saya tanya balik, apa tujuan awal menghibahkan lahan 5 hektar itu? Dia jawab untuk pelatihan pertanian bagi perawat kandang di desa-desa dan pelosok. Saya tanya lagi, sekarang mau dibuat untuk apa? Untuk sekolah umum swasta. Jadi jelas sudah melenceng dari tujuan waktu pemaparan, bahkan selama sekian tahun ditelantarkan, pajak PBB pun tidak dibayar, jadi ambil balik saja, bisa dipakai untuk kepentingan pelayanan yang lain. Akhirnya dia menemui orang itu dan meminta tanah itu dikembalikan. Syukurnya tanah itu akhirnya dikembalikan.

Ada lagi flexing seperti ini yang jelas-jelas kebohongan yang demikian parah. Ada yang bersaksi dia datang pelayanan ke suatu kota. Waktu tiba di airport dia dijemput seorang pengusaha, dan dalam perjalanan si pengusaha menyerahkan cek senilai sekian milyar yang kemudian dia pakai untuk membeli gedung yang dia sekarang pakai. Saya bertemu langsung dengan pengusaha itu, ternyata kejadian sebenarnya tidak sedemikian spektakular dan luar biasa. Si pengusaha dengan detail bercerita kepada saya dari awal bagaimana dia akhirnya memberikan uang itu. Awalnya dia ditelpon ibu dari orang itu, setelah basa-basi, si ibu bilang bahwa anaknya mau bicara, kemudian telpon diserahkan ke anaknya. Anaknya bilang dia dapat pesan Tuhan bahwa pengusaha ini harus menyerahkan jumlah sekian kepadanya. Si pengusaha tidak langsung menyerahkan uang itu. Tetapi sejak saat itu dia selalu menerima telpon dan SMS (jaman itu belum ada aplikasi WA) dari si anak yang mengatakan Tuhan akan menghukum dia kalau tidak melakukan pesan Tuhan itu. Tuhan akan meniup semua usahanya dalam tahun itu juga seperti angin meniup sekam. Bosan dengan SMS macam itu, dia akhirnya menyerahkan uang yang diminta itu. Itulah kejadian sebenarnya dari si korban, bukan cerita fantastis yang diceritakan si pelaku.

Ada lagi seorang istri pengusaha yang minta pendapat saya, karena ada yang minta pinjam 150 milyar (bukan 150 juta, apalagi 150 ribu rupiah ya). Uang itu akan dipinjam sebentar saja, dan akan segera dikembalikan setelah mereka ritual merampas harta penguasa laut selatan yang akan mereka adakan di Pantai Carita. Saya katakan jangan berikan, tidak ada di Alkitab menjarah harta penguasa laut. Mereka itu kebanyakan nonton Pirates of the Caribbean. Syukur dia nurut. Saya tidak bisa bayangkan kalau istri si pengusaha memberikan pinjaman itu, dijamin amsiong, dan kondisi bisa lebih parah dari kena 10 varian covid sekaligus.

Di samping orang-orang yang flexing, di dalam pelayanan saya juga bertemu dengan orang-orang yang pura-pura bambung alias miskin. Ada seorang pria yang terus mendesak saya minta waktu untuk konseling. Saya baru ada waktu luang beberapa saat lagi, atau siang hari. Dia katakan pagi jam 6 pagi atau tengah malam tidak apa-apa, karena siang hari dia tidak bisa karena kerja ikut orang. Saya katakan, saya tidak bisa melayani konseling terlalu malam setelah pelayanan mimbar, karena saya butuh istirahat dan saya tidak bisa melayani konseling jam 6 pagi karena saya pulang pelayanan sudah larut malam. Akhirnya dia mau pagi sekitar jam 9. Dia datang bersama istrinya, mereka sedang menghadapi masalah keuangan. Sementara bicara, hape si suami berdering, dia kemudian berdiri keluar untuk menjawab telpon. Waktu dia di luar, istrinya cerita bahwa mereka memiliki pabrik di kawasan industri, tetapi si suami ada punya wanita peliharaan, dan semua penghasilan pabrik diberikan ke perempuan peliharaan itu. Lha, ngakunya kerja ikut orang. Bagaimana tidak mengalami masalah keuangan, lha uangnya dikasih perempuan itu semua. Pantesan waktu datang bawa 2 potong roti murahan dan bilang, “Ini berkat dari Tuhan, pak.” Ini asli pura-pura miskin karena pelit luar biasa—mengaku kerja ikut orang, datang bawa 2 potong roti murahan padahal punya pabrik di kawasan industri.

Ada lagi yang jemput saya pagi-pagi keliling ke berbagai tempat usahanya. Waktu makan siang, saudaranya yang punya mall di kota lain ikut datang untuk konseling. Setelah itu ke aneka tempat usaha saudaranya yang lain, ke proyek kompleks gedung apartemen saudaranya yang lain lagi, yang terdiri dari beberapa tower yang masing masing sekian puluh lantai. Saya diantar balik larut malam. Diberi amplop super tebal terdiri dari pecahan Rp10.000 sebanyak 1 juta rupiah. Lebih manusiawi diberikan 10 lembar ratusan ribu daripada 10rb-an 100 lembar.

Ada lagi yang jemput saya dengan mobil perang, yang joknya sudah robek sana-sini, bau apeknya mantap, padahal punya usaha yang lumayan besar. Maksudnya pasti memberi kesan miskin, minimal pas-pasan, sehingga kalau cuma beri dua tiga lembar yang merah untuk pelayanan doa satu RT tidak ada kesan pelit, wong sudah pura-pura miskin.

Bersyukur buat proses yang Tuhan sudah bawa, sehingga kami terbiasa tidak berharap dari pelayanan atau orang yang dilayani, tetapi menaruh pengharapan kepada Tuhan. Kalau tidak, bisa makan ati melihat aneka kelakuan manusia yang berbohong untuk mencari penghormatan dan kekaguman manusia. Atau yang berbohong dan pura-pura miskin agar bisa super hemat—bahkan tidak perlu memberi. Wajar-wajar sajalah, kami juga tidak pasang tarif, kami juga sudah terlatih berharap ke Tuhan, karena Dia yang kami layani. Tidak perlu akal-akalan.

Kataku: “Hikmat lebih baik dari pada keperkasaan, tetapi hikmat orang miskin dihina dan perkataannya tidak didengar orang.” — (Pengkotbah 9:16)

Dilema yang dihadapi orang yang melayani Tuhan adalah domba tidak peduli akan isi dan pesan yang dia sampaikan, tetapi melihat siapa si pembawa pesan itu—kalau dia sukses, punya domba puluhan ribu, kandang super besar yang bisa menampung puluhan ribu orang, rumahnya super mewah, mobil built up, pakaiannya desainer Paris—barulah mereka tertarik mendengar. Saya ingat waktu saya mengisi seminar di gereja di Sulawesi Tengah, hanya sedikit yang hadir karena saya bukan pembicara terkenal. Walau kandangnya cukup besar tapi domba yang tertarik datang hanya sedikit, wong nama pembicaranya tidak pernah mereka dengar. Selesai seminar saya dengar ada yang bilang seminarnya bagus sayangnya jemaat sedikit yang hadir. Lumayan, ada yang merasa diberkati di seminar itu.

Bukan hal yang aneh—bisa kurang terkenal, kurang menarik massa, sehingga tidak sedikit yang berusaha untuk menaiki social ladder alias pansos (orangnya dikenal sebagai social climber) dengan segala macam cara, agar jadi terkenal, menarik banyak massa dan pengikut, sekaligus memanen keuntungan materi.

Sering aktivis persekutuan memberi usul agar ada persekutuan lewat zoom atau upload khotbah di YouTube, tetapi saya sama sekali tidak merasa diperintah Tuhan untuk melakukan ibadah lewat zoom. Itu sejalan dengan visi mendewasakan yang saya terima, sehingga domba-domba diberi kesempatan untuk praktek sendiri membangun kekariban dengan Tuhan, tanpa perlu dicekoki setiap saat. Saatnya juga mereka belajar dari banyak pemberita dan pengajar lain, sehingga wawasan mereka lebih luas dan tidak membatasi diri dalam satu pengajaran dan doktrin saja—apalagi sampai ikut dan mendewakan satu orang tanpa memakai pikiran sehat lagi.

Minggu lalu juga salah satu pendiri doa semalaman kami bercerita kepada saya bahwa dia mendapat mimpi yang aneh. Dalam mimpi itu dia, suaminya dan saya ada di dalam satu mobil yang parkir di depan sebuah gedung berbentuk bundar tinggi. Di gedung itu tidak ada tangga naik. Dia melihat saya membawa sebuah bungkusan berisi bubuk putih untuk ditabur di atas gedung itu. Bungkusan itu saya serahkan ke dia, dia bingung bagaimana menabur bubuk itu di atap gedung karena tidak ada tangganya. Kemudian datang seorang pemimpin pujian, dan dia berhasil menabur bubuk putih itu di atas gedung itu. Kemudian dia melihat banyak orang berusaha naik ke puncak gedung itu dengan merayap seperti cicak, tetapi tidak berhasil bahkan mati. Kami di dalam mobil menyaksikan hal itu. Dia mendapat pengertian: tidak boleh dengan hawa nafsu untuk naik, dipromosikan Tuhan, karena Tuhan bisa angkat kita tanpa melewati tangga. Dan harus tetap memuji dan memuliakan Tuhan dengan hati yang tulus.

Sebab bukan dari timur atau dari barat dan bukan dari padang gurun datangnya peninggian itu, tetapi Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain. — (Mazmur 75:7-8)

Saat-saat ini media sosial memberikan akses tak terbatas, bahkan tak terkendali, sebagai wacana untuk orang meninggikan diri, memamerkan harta, keberhasilan, pencapaian diri. Dan para pansos bisa memakainya dengan efektif untuk memoles citra diri dan meninggikan diri pribadi. Kita dihadapkan pada pilihan dikenal Allah atau dikenal manusia. Ingat keberhasilan, terkenal bukanlah tujuan hidup orang percaya, tetapi melakukan dan menjadi apa yang Tuhan rencanakan dan inginkan itu yang tujuan tertinggi.

Ketika Tuhan Yesus mengetahui, bahwa orang-orang Farisi telah mendengar, bahwa Ia memperoleh dan membaptis murid lebih banyak dari pada Yohanes meskipun Yesus sendiri tidak membaptis, melainkan murid-murid-Nya, — Iapun meninggalkan Yudea dan kembali lagi ke Galilea. — (Yohanes 4:1-3)

Ketenaran, keberhasilan dan pencapaian bukanlah tujuan utama, karena kita akan jadi terlena dan berhenti melakukan tugas yang belum selesai. Kita akan hidup dalam kenyamanan dan menikmati semua yang kita peroleh dan melalaikan semua tugas yang belum kita tuntaskan. Kita diupah ketika kita menerima tugas, tetapi upah itu seringkali membuat kita tidak melanjutkan melakukan tugas kita sampai selesai. Kita menjadi terikat dengan upah itu, menikmatinya dan tidak mau kehilangannya sedikitpun. Sebaliknya kita tidak takut semakin menjauh dari yang memberikan kita berkat, bahkan tidak sadar sudah kehilangan Dia. Fokus kita bukan lagi melayani untuk menyenangkan Dia, tetapi berkat materi untuk menyenangkan diri sendiri. Berkat telah menjadi kutuk dalam hidup kita.

Sebab mereka lebih suka akan kehormatan manusia dari pada kehormatan Allah. — (Yohanes 12:43)

Ketika perendahan yang menyakitkan harus kita alami—harga diri yang dihancurkan, nama baik yang dirusak, hak-hak yang dirampas, dipandang cuma sebelah mata—adakah kemudian kita berusaha sekuat tenaga untuk membalikkan keadaan itu? Agar orang menghargai kita, agar kita jadi terpandang, dihormati, dihargai, didengarkan, dicari?

Nantikanlah TUHAN dan tetap ikutilah jalan-Nya, maka Ia akan mengangkat engkau untuk mewarisi negeri, dan engkau akan melihat orang-orang fasik dilenyapkan. — (Mazmur 37:34)

Sudah bosan menantikan Tuhan? Bosan dihina orang? Jenuh hidup tanpa arti? Mau memakai kekuatan sendiri untuk jadi orang hebat? Silahkan, boleh koq, risikonya kan sudah tau.