Berhemat atau Bertobat
Pandemi yang berkepanjangan tanpa ada kepastian kapan berakhirnya beakibat langsung kepada kondisi keuangan entah orang pribadi, keluarga, bahkan organisasi-organisasi keagamaan. Ekonomi yang menurun sebagai akibat langsung pandemi mengurangi pendapatan—bahkan meniadakan penghasilan banyak orang. Perusahaan-perusahaan tidak sedikit yang tutup atau pailit, merumahkan bahkan mem-PHK karyawan sebagai tindakan efisiensi untuk menyelamatkan aset perusahaan yang sudah tidak ada kegiatan produksi sehingga tidak bisa lagi menggaji para karyawan.
Daya beli yang menurun drastis membuat penjualan juga lesu dan terjun bebas sehingga diskon besar-besaran diberikan untuk mempertahankan penjualan. Tetapi strategi ini juga tidak semua berhasil, angka penjualan banyak yang tetap lesu.
Orang percaya yang masih hidup di dalam dunia ini juga merasakan dampaknya. Yang kerja sekuler kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Yang melayani Tuhan banyak yang kehilangan tugas melayani, jadwal pelayanan dan undangan pelayanan dan ujung-ujungnya berdampak pada penghasilan mereka.
Dari berbagai aplikasi; Whatsapp, Facebook, Instagram, Twitter saya melihat banyak yang mencari celah untuk survive dengan mencoba merintis usaha kuliner maupun menawarkan berbagai produk secara online. Dan yang sempat booming adalah jualan masker, face shield dan disenfektan.
Tuhan memberikan kita akal budi untuk menjalani hidup ini. Dia membekali kita daya pikir untuk survive. Di masa pandemi yang sudah berjalan beberapa bulan ini apa yang harus kita lakukan untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari? Ada yang bertanya kepada saya mengapa hidupnya jadi susah di tengah pandemi korona ini. Penghasilannya terjun bebas tanpa payung sehingga waktu menyentuh kebutuhan terhempas remuk. Saya langsung jawab; “Ndak usah manja, semua orang juga kena imbas korona.” Ada saja orang yang seperti hidup di jaman batu, terisolasi dari dunia luar. Padahal pakai hp pintar, rajin update status atau bikin history di medsos. Weleh-weleh.
Tapi katanya Tuhan membuat perbedaan antara yang beribadah dan tidak beribadah (Maleakhi 3:18)? Masakan orang dunia kena korona kita anak Tuhan juga kena? Seringkali kita dengan mudah memakai label “orang dunia” dan anak Tuhan, sedang faktanya tidak sedikit dari kita lebih gila mencari harta dunia dari mereka. Mereka mencarinya lewat usaha, pekerjaan, sedang yang melabeli diri anak Tuhan obsesinya bisa lebih besar justru mencarinya lewat pelayanan dan ibadah/jalur rohani untuk mencapai hal duniawi. Kacau.
Bukankah Dia berjanji meluputkan dari penyakit sampar dan penyakit menular,walau seribu rebah di sisi kiri dan sepuluh ribu rebah di sisi kanan, itu tidak akan menimpaku (Mazmur 91:6-7)? Dengan mudahnya orang mengklaim Firman Tuhan, mendeklarasikan “ayat-ayat perlindungan” dan menuntut ayat-ayat itu terjadi dalam hidupnya. Lupa bahwa orang yang membenci teguran Tuhan dan mengesampingkan Firman tidak layak menyebut-nyebut perjanjian Tuhan (Mazmur 50:16-17). Jadi mau dideklarasikan berulang ribuan kali sehari seperti memutar rekaman kasetpun, dengan teriakan pakai speaker dan ampli ratusan ribu watt, tidak akan terjadi, bila kita selama ini kita hidup tidak mau dikoreksi Tuhan.
Ingat Alkitab mencatat bermacam penyebab kematian antara lain:
- Kematian karena usia lanjut (Kejadian 25:7-8, Kejadian 35:29)
- Kematian karena penyakit (II Raja 13:14)
- Kematian sebagai penghukuman Tuhan (Yeremia 28:16-17)
- Kematian karena bencana,kecelakaan (Lukas 13:4)
- Kematian karena racun (II Raja 4:38–41)
- Kematian karena pembunuhan (Kejadian 4:8)
- Kematian karena bunuh diri (Matius 27:3-5)
Jadi kalau ada orang percaya yang meninggal karena korona, jangan langsung dihakimi sebagai orang kurang iman, sehingga tertular korona. Jangan langsung dicap sebagai orang yang dihukum Tuhan lewat covid-19. Nabi Elisa yang murupakan salah satu nabi terbesar orang Israel (selain Musa), meninggal karena sakit.
Kembali ke imbas ekonomi pandemi korona. Salah satu cara paling mudah untuk menghadapi kondisi keuangan yang menurun adalah dengan berhemat. Mengalokasikan dana hanya pada kebutuhan primer dan mencoret kebutuhan sekunder yang tidak penting. Kedua mencari sumber-sumber keuangan baru sebagai ganti sumber yang sudah mulai mengering. Itu di bidang sekuler.
Kalau di bidang rohani tentu saja tidak semua metode penghematan sekuler bisa diterapkan, karena kalau semua cara sekuler dipraktekkan maka tidak ada beda yang profan dan sakral. Yusuf tidak menyimpan semua kelimpahan di Mesir untuk dirinya dan kelompoknya, sehingga walaupun kurun masa kelaparan sama durasinya dengan kurun waktu kelimpahan, semua orang kuno jaman itu mendapat makanan sampai semua normal kembali. Yusuf tidak mengajar mereka untuk berhemat, makan sekali sehari atau kalau perlu dua hari sekali. Toh itu mungkin baik untuk yang kelebihan berat badan, penderita diabetes, dan darah tinggi.
Salah satu fungsi managemen adalah budgeting. Di awal saya belajar managemen, fungsi budgeting difokuskan sebagai pengaturan dan penganggaran sumber daya agar kebutuhan setiap departemen dalam organisasi terpenuhi. Kemudian ada perubahan fokus budgeting, kalau dulu agar semua departemen mendapat anggaran, bergeser penekanannya bahwa budgeting adalah pengaturan sumber daya agar tidak dianggarkan kepada bagian yang tidak berguna. Jadi anggaran harus tepat guna dan tepat sasaran. Kalau dulu mungkin sebagai pengaturan pembagian kue, dalam bahasa sehari-hari, kemudian berubah menjadi pemilahan ketat dan bijak apa saja yang tidak perlu dibiayai.
Baru baru ini saya dengar ada seminar yang membahas opsi penghematan dengan memotong gaji gembala. Yang menyarankan lupa bahwa hanya organisasi tertentu yang gembalanya makan gaji. Banyak organisasi yang mirip sistem pertandingan—the winner takes it all—yang dimodifikasi sedikit menjadi leaders take them all. Mengajar menghemat dengan mengorbankan pengerja/full timer yang kedudukannya sering lebih lemah dari pegawai rendah perusahaan, tanpa kontrak kerja, digaji ala kadar bahkan dibawah UMP, kerja tanpa Job Description, bisa dipecat kapan saja tanpa pesangon. Kasihan boss. Belum lagi trend lebih mencari yang full heart/volunteer dari pada full timer yang harus digaji, supaya kue persembahan kecuilpun tidak, supaya bisa masuk utuh sak wungkul ke orang atas.
Mengorbankan jemaat dengan tetap mengingatkan terus menerus tentang harus memberi persembahan, bahkan mengirim orang untuk mengambil persembahan ke rumah-rumah jemaat adalah tindakan yang perlu dipikirkan kembali. Koq jadi debt collector, lama-lama bisa jadi preman lho. Pemerintah saja merileksasi pinjaman kredit, koq ini malah makin galak nagih? Koq iso ngene yo? Belum lagi streaming ibadah dengan running text terus menerus mengingatkan jemaat untuk memberi persembahan, ini tujuannya untuk melayani atau hanya untuk minta persembahan di packing dalam paket yang dilabeli ibadah? Mengajar percaya Tuhan tapi diri sendiri tidak percaya Tuhan akan mencukupkan sehingga pakai running text terus menerus untuk meminta jemaat transfer ke nomer rekening yang tertulis di sana?
Ada juga yang medit, kikir, pelit tapi kreatif dengan bungkus mengubah atmosfer rohani kumpul untuk ngamen. Sama seperti orang tua yang super kaya raya dengan harta berlimpah ruah, ketika anak-anaknya butuh bantuan bukannya mengambil dari harta yang ada di tangannya, malah memilih kumpul-kumpul bikin acara ngamen untuk mencari sumbangan uang bagi anak-anaknya itu. Ini terjadi di negara +62 ini, demi etika saya tidak meng-upload iklan, brosur acara kumpul-kumpul ngamen itu. Pasti banyak yang sudah tahu apa yang dimaksudkan.
Kalau kita punya orang tua seperti itu apakah mereka memperhatikan dan mengasihi kita? Mungkin ada yang menjawab tentu saja, buktinya mereka bikin acara ngamen untuk mencari dana untuk disumbangkan kepada yang membutuhkan. Apakah mereka memang miskin, melarat tidak punya uang sehingga perlu mencari sumbangan seperti itu? Tidak kan? Jadi jelas yang Tuhan percayakan kepada mereka, mereka anggap itu hanya untuk mereka pribadi dan tidak bisa dikeluarkan sekalipun buat jemaat yang sangat membutuhkan. Mahatma Gandhi pernah berkata bahwa dunia ini cukup untuk berapapun manusia, tetapi tidak cukup untuk satu orang tamak.
Saya ingat dalam perjalanan memimpin ziarah ke Israel, kami melewati kota kecil Bet-sean, pegunungan Gilboa tampak dari kejauhan, mata saya berkaca-kaca karena saya ingat di sinilah Saul dan ketiga anaknya gugur dan dia dipakukan ke tembok kota oleh orang Filistin. Tuhan mengangkat dia tanpa pernah dia minta, berkali-kali dia diberi kesempatan untuk bertobat tetapi tidak pernah dia hargai kemurahan dan panjang sabar Tuhan dalam hidupnya. Dia diangkat Tuhan dan dia memakai jabatan itu hanya untuk kepentingannya sendiri, lepas dari kehendak Tuhan. Dan ciri khas jabatan yang dipergunakan untuk kepentingan sendiri adalah iri hati, kebencian, pembunuhan (entah fisik entah karakter), penuh alasan untuk membenarkan pemberontakan dan dosa, menghalangi, menjegal orang lain yang dipakai dan dipilih Tuhan, mempertahankan posisi dengan segala macam cara-cara yang jahat dan kejam.
Saul mau memakai hasil rampasan kambing domba orang Filistin untuk dijadikan persembahan kepada Tuhan (1 Samuel 15:21). Sedang Daud tidak bermental gratisan, walau Arauna memberikan secara gratis tanah miliknya, Daud tetap membayarnya. (2 Samuel 24:20-24). Daud tidak langsung bersuka cita dan bermazmur Tuhan itu baik, karena diberi gratis, seperti kelakuan umum orang, dengan alasan toh itu untuk pekerjaan Tuhan, bukan untuk kepentingannya pribadi. Dia mengeluarkan uang yang ada padanya, bahkan semua yang dia kumpulkan dipersembahkan untuk Tuhan (1 Tawarikh 22:14). Kita ini mewarisi DNA Saul atau DNA Daud?
Salah satu pelajaran yang saya masih ingat waktu ikut Condensed World Mission Course adalah hasil survey pola pengeluaran gereja, yang 92 koma sekian persen dinikmati para pemimpin, 7 koma sekian persen untuk membiayai aktivitas internal dan hanya 0.5 persen untuk misi keluar. Angka persisnya saya mesti bongkar-bongkar tumpukan buku saya untuk mencari textbook dari World Mission yang masih saya simpan sampai sekarang.
Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan. (Amsal 11:24)
Saat normal dan berlimpah adalah saat jemaat belajar beriman dan taat melakukan Firman Tuhan terutama dalam hal persembahan. Tetapi saat seperti ini adalah saat untuk para penguasa mimbar melakukan apa yang selama ini mereka ajarkan. Mereka mengajarkan menabur agar menuai, mau lebih banyak menuai maka lebih banyaklah menabur. Sekarang praktekkan, dong! Keluarkan deposito bank mereka, jual asset rumah, apartemen, mobil built up, rumah super mewah mereka untuk dipakai operasional organisasi dan menolong orang-orang yang kekurangan.
Jangan menjadi keturunan ahli Taurat dan orang Farisi dengan DNA jago mengajar tetapi tidak melakukan sedikitpun apa yang mereka ajarkan ke orang lain (Matius 23:3c–4). Mengajar yang berat-berat tetapi tidak melakukan sedikitkan yang diajarkan. Mengajar harus memberi walau diri sendiri sedang kekurangan. Menyuruh tetap menabur walau gaji super mepet. Imani Tuhan akan cukupkan dan akan menggantinya berlipat ganda. Tetapi begitu total persembahan menurun mereka langsung berhemat. Sekarang putar kembali rekaman kotbah-kotbah yang keluar dari mulutmu, dan lakukan, stop suruh orang lain yang lakukan. Firman itu bukan hanya untuk yang mendengar kotbah tetapi terutama untuk yang berkhotbah.
Saat ini bukan saat berhemat tetapi saat bertobat. Bertobat dari motivasi pelayanan untuk mencapai ambisi dan obsesi pribadi: kesuksesan, kemakmuran, dan kekayaan pribadi. Kekayaan dan aset yang ditumpuk saatnya dikeluarkan untuk kepentingan pelayanan dan orang yang membutuhkan. Jangan jadi Laut Mati yang hanya menerima tetapi tidak bisa mengalirkan, sehingga tidak ada kehidupan di dalamnya. Bertobat dari program dan aktivitas menara gading, dan kegiatan-kegiatan yang semata–mata memperluas kerjaan pribadi dan merusak Kerajaan Allah.
Bertobat dari trik pelayanan menarik orang datang dengan iming-iming kekayaaan dan hidup nyaman. Gereja bukan MLM yang upline-nya harus menunjukkan kesuksesan sehingga gampang dapat downline. Inti pelayanan adalah agar yang melayani dan dilayani melakukan kehendak Tuhan. Bertobat dari fokus pada kuantitas, saatnya beralih ke kualitas rohani jemaat. Memberi mereka rasa nyaman palsu dengan firman susu bukan makanan keras, sehingga mereka tidak menjadi dewasa dan tidak makin berkenan kepada Tuhan. Bertobat dari kehidupan glamour dan mewah yang melebihi pola hidup para pengusaha nasional, agar dihargai dan dihormati dan dapat banyak pengikut. Ini cara hidup yang penuh kesombongan dan hawa nafsu duniawi. Jadi hamba yang dihormati Bapa, bukan mencari hormat manusia (Yohanes 12:26).
Di awal pandemi korona ada aktivis persekutuan kami yang menghubungi saya menanyakan tentang merebaknya covid-19 ini, dan Roh Kudus mengatakan the worst is yet to come. Ada pandemi lain yang lebih buruk lagi akan terjadi. Seminggu kemudian setelah itu saya mendengar ada hamba Tuhan lain, Sadhu Sundar Selvaraj, mendapat penyataan yang sama.
Saatnya untuk bertobat, bukan memikirkan untuk berhemat. Jangan salah langkah. Ingat keep the main thing the main thing.
“A true leader has the confidence to stand alone, the courage to make a tough decisions, and the compassion to listen to the needs of others. He does not set out to be a leader, but becomes one by the equality of his actions and the integrity of his intent.”-General Douglas McArthur